Senin, 11 November 2013

PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS



  1. Lingkungan Bisnis yang mempengaruhi Perilaku Etika
Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219), Moral = moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan); Moralitas = kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan secara etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan etika penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang memiliki etika bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik.
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara.
Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.
  1. Kesaling - tergantungan antara bisnis dan masyarakat
Alam telah mengajarkan kebijaksanaan tentang betapa hubungan yang harmonis dan kesalingtergantungan itu adalah amat penting. Bumi tempat kita berpijak, masih setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim dan secara tim dengan planet-planet lain, namun penghuninya kebanyakan telah berjalan sendiri-sendiri. Manusia yang konon khalifah di bumi, merasa sudah tidak membutuhkan manusia lainnya. Bukanlah kesalingtergantungan yang dibina, melainkan ketergantungan yang terus diusung.

Kesalingtergantungan bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan, egalitarianisme. Manusia bekerjasama, bergotong-royong dengan sesamanya memegang prinsip kesetaraan. Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika manusia terlalu percaya kepada keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu keunggulan ras, agama, suku, ekonomi dsb.

Wajah Indonesia yang carut marut dewasa ini adalah karena terlalu membuncahnya subordinasi relasi manusia atas manusia lain. Negara telah dikuasai oleh jenis manusia yang memiliki mentalitas pedagang. Pucuk kekuasaan telah disulap menjadi lahan bisnis, dimana dalam dunia bisnis maka yang dikenal adalah tuan dan budak, majikan dan buruh. Dalam hal ini, yang tercipta adalah iklim ketergantungan, bukan kesalingtergantungan.

Di negara lain, kelas proletar yang dahulu diperjuangkan, toh setelah meraih kekuasaan, pada gilirannya ia menjelma menjadi kelas yang istimewa, yang rigid terhadap kritik. Hukum diselewengkan, dan bui menjadi jawaban praktis bagi para oposan. Proletar melakukan kesalahan yang sama dengan borjuis yang dilawannya habis-habisan.

Jika borjuis menggunakan sentimen agama untuk mengelabui rakyat jelata, maka proletar menganggap agama sebagai candu rakyat. Yang satu mengatasnamakan agama, yang lainnya mengatasnamakan rakyat miskin. Namun keduanya memiliki tujuan yang sama: kekuasaan. Kekuasaan negara, dan juga agama telah menjadi petualangan bisnis, dimana siapa saja yang berkuasa maka kekayaan hendak menumpuk dalam istananya dengan benteng menjulang, sementara secuil saja kekayaan yang dinikmati mereka yang bekerja keras.

Di abad yang lalu, orang-orang Eropa yang berasal dari Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis mengunjungi Asia termasuk negeri ini muasalnya bertujuan untuk berdagang dengan penduduk setempat. Mereka melakukan kerjasama bisnis dengan penduduk lokal dan beberapa elit penguasa. Pada mulanya mereka menikmati peran sebagai partnerbisnis, lambat laun peran ini dianggap tidak lagi menarik. Mereka pun berubah menjadi majikan, dan kelak menjajah dan memperbudak bangsa ini hingga ratusan tahun untuk mempertahankan posisi itu dan menciptakan ketergantungan penduduk lokal kepada mereka. Rupanya peran yang belakangan lebih menarik dan lebih menantang.

Perbudakan adalah sesuatu yang tidak alami, menyalahi takdir sebagai manusia. Setiap manusia berhak atas kebebasan. Namun pola perbudakan semacam itu kiranya tidak lekang oleh zaman,. meski bentuknya diubah sedikit supaya lebih beradab. Perbudakan dewasa ini lebih modern, kendati tetap ditempuh dengan cara-cara yang zalim.

Apalagi di Indonesia yang masyarakatnya kebanyakan beragama bukan karena kesadaran melainkan telah ditentukan orangtua sejak lahir, maka agama lagi-lagi merupakan alat yang nyaris selalu laris untuk memuluskan tujuan-tujuan tersebut. Lembaga keagamaan dan negara berkonspirasi untuk memperbudak jiwa manusia.

Di negeri ini, berapa banyak fatwa mufti negara, undang-undang dan peraturan daerah bernuansa agama yang tidak masuk akal yang menghendaki rakyat senantiasa bergantung kepada mereka? Keadaan demikian menciptakan kericuhan di dalam masyarakat akibat hiperregulasi, karena tingkat kepatuhan masyarakat menurun. Keamanan menjadi barang yang mahal. Kepergian para investor karena merasa tidak aman memperparah perekonomian Indonesia.

Dalam keadaan collapse akhirnya kita memiliki ketergantungan yang tinggi kepada negara luar. Kucuran dana negara asing kepada kita bukanlah sesuatu yang gratis. No free lunch. Dana punia dan pinjaman mereka seraya mendesakkan kepentingan dan agenda mereka, tidak bisa dipungkiri. Barangkali Paman Sam dengan kapitalismenya, maka Arab Saudi yang setia dengan garis iman Wahhabi tentunya akan mendesakkan agenda mereka kepada Indonesia.

Pemikiran-pemikiran sekuler Barat yang telah merasuki dunia Islam misalnya, dengan ideologi kapitalisme yang mengurung sendi-sendi perekonomian umat Islam telah menjadikan dunia Islam menjadi terpuruk dengan ketergantungan yang tinggi terhadap Barat. Sebagai jalan keluar, sebagian orang sering mengalami eskapisme untuk memasuki dunia “pasti” yang menentramkan hati. Jalan yang diambil adalah dengan penyerahan diri kepada sebuah “otoritas transedental” (baca: otoritas mufti negara) yang menjanjikan kesenangan eskatologis.

Sebagian yang lain meresponnya dengan melakukan tindakan-tindakan anarkis dan vigilantisme. Seperti pernah dituturkan Amrozi dalam Koran Tempo tahun 2003, peledakan bom Bali adalah untuk menjaga kehidupan beragama
Pola relasi negara kita dengan negara luar layak dibenahi. Bangsa kita harus memiliki keberanian yang cukup untuk bisa pula mendesakkan cita-cita negara kita sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kepada mereka. Bangsa kita harus memiliki nyali yang cukup untuk menolak agenda mereka yang bisa merusak kemerdekaan yang telah susah payah diraih. Hubungan luar negeri kita harus berubah dari ketergantungan, menjadi kesalingtergantungan, sebagai bangsa-bangsa yang sejajar dan sederajat. Kemerdekaan dan kebebasan saja belum cukup, namun saat ini penting kemerdekaan untuk hidup merdeka, kebebasan untuk hidup bebas.
Setiap orang warga negara ini, bahkan warga seluruh dunia memiliki kebutuhan individu. Kebutuhan akan makan, tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan dsb sejatinya bukanlah kebutuhan individu atau segelintir orang saja, melainkan seluruh orang yang hidup di dunia ini membutuhkannya. Setiap orang tidak akan mampu mencukup kebutuhannya sendiri tanpa semangat gotong-royong, kesalingtergantungan, kerjasama, kolaborasi dengan orang lain.


  1. Kepedulian Pelaku Bisnis Terhadap Etika
Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1.                  Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing - masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik".
2.                  Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda.
3.                  Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4.                  Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5.                  Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6.                  Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7.                  Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit  (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.

  1. Perkembangan Dalam Etika Bisnis
Di akui bahwa sepanjang sejarah kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah lluput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis dapat dikatakan seumur dengan bisnis itu sendiri. Perbuatan menipu dalam bisnis , mengurangi timbangan atau takaran, berbohong merupakan contoh-contoh kongkrit adanya hubungan antara etika dan bisnis. Namun denikian bila menyimak etika bisnis sperti dikaji dan dipraktekan sekarang, tidak bisa disangkal bahwa terdapat fenomena baru dimana etika bisnis mendapat perhatian yang besar dan intensif sampai menjadi status sebagai bidang kajian ilmiah yang berdiri sendiri.

Etika bisnis mencapai status ilmiah dan akademis dengan identitas sendiri, pertama kali timbul di amrika srikat pada tahun 1970-an. Untuk memahaminya, menurut Richard De George, prtama-tama perlu membedakan antara ethics in business dan business ethics. Untuk memahami etika bisnis De George membedakannya kepada lima periode: situasi dahulu:berabad-abad lamanya etika membicarakan tentang masalah ekonomi dan bisnis sbagai salah satu topik disamping sekian banyak topik lain.

Masa peralihan tahun 1960-an, pada saat ini terjadi perkembangan baru yang dapat disebut sbagai prsiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis. Di amerika serikat dan dunia barat pada umumnya ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas penolakan terhadap establishment yang diperkuat oleh situasi demoralisasi baik dalam bidang polotik, sosial, lingkungan dan ekonomi. Pada saat ini juga timbul anti konsumerisme.
Masa lahirnya etika bisnis terdapat dua faktor yang mendorong kelahiran etika bisnis pada tahun 1970-an. Pertama sejumlah filosof mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah sekitar bisnis dan etika bisnis sebagai suatu tanggapan atas krisis moral yang sedang melputi dunia bisnis di Amerika Serikat. Kedua terjadinya krisis moral yang dialami oleh dunia bisnis. Pada saat ini mereka bekerja sama khususnya dengan ahli ekonomi dan manejemen dalam meneruskan tendensi etika terapan. Norman E. Bowie menyebutkan bahwa kelahiran etika bisnis ini disebabkan adanya kerjasama interdisipliner, yaitu pada konferesi perdana tentang etika bisnis yang diselanggarakan di universitas Kansas oleh philosophi Departemen bersama colledge of business pada bulan November 1974.
Masa eika bisnis melus ke Eropa, etika bisnis mulai merambah dan berkembang setelah sepuluh tahun kemudian. Hal ini pertama-tama ditandai dengan semakin banyaknya perguruan tinggi di Eropa Barat yang mencantumkan mata kuliah etika bisnis. Pada taun1987 didirkan pula European Ethics Nwork (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan antara akademisi dari universitas, sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari organisasi nasional da nternasional.
Masa etika bisnis menjadi fenomena global pada tahun 1990-an, etika bisnis telah menjadi fenomena global dan telah bersifat nasional, internasional dan global seperti bisnis itu sendiri. Etika bisnis telah hadir di Amerika Latin , ASIA, Eropa Timur dan kawasan dunia lainnya. Di Jepang yang aktif melakukan kajian etika bisnis adalah institute of moralogy pada universitas Reitaku di Kashiwa-Shi. Di india etika bisnis dipraktekan oleh manajemen center of human values yang didirikan oleh dewan direksi dari indian institute of manajemen di Kalkutta tahun 1992.
Di indonesia sendiri pada beberape perguruan tinggi terutama pada program pascasarjana telah diajarkan mata kuliah etika isnis. Selain itu bermunculan pula organisasi-organisasi yang melakukan pengkajian khusus tentang etika bisnis misalnya lembaga studi dan pengembangan etika usaha indonesia (LSPEU Indonesia) di jakarta.
Berikut perkembangan etika bisnis menurut Bertens (2000):
1. Situasi Dahulu

Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.

2. Masa Peralihan: tahun 1960-an

ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.

3. Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an

sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di AS.

4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an

di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).

5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an

tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
  1. Etika Bisnis dan Akuntan
          Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Akuntansi sebagai profesi memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban yaitu; kompetensi, objektif dan mengutamakan integritas. Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya telah membuktikan bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan. Banyak orang yang menjalankan bisnis tetapi tetap berpandangan bahwa, bisnis tidak memerlukan etika.

Sumber :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar